SYAR'U MAN QABLANA



 MAKALAH SYAR'U MAN QABLANA
OLEH : Dyen Syafitri
STAIN CURUP
BAB I
PENDAHULUAN

Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam. Para ulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian.
Jika Alqur’an dan Hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat terdahulu kemudian datang dalil nash  yang membatalkannya, ulama sepakat bahwa hukum itu bukanlah syari’at kita karena sudah ada yang membatalkannya.
Pada prinsipnya, syari’at yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Dalam kesempatan ini penulis akan membahas tentang pengertian syar’u man qablana, kedudukannya, pembagian syar’u man qablana, diantaranya; Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syari’at kita (dimansukh), Ajaran yang disyari’atkan oleh  kita, Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita. Dan akan dibahas juga tentang sandaran syari’at Rasulullah sebelum dan sesudah diutus menjadi Rasul.
 

BAB II
PEMBAHASAN

1.   Pengertian Syar’u man Qablana
Ada beberapa pengertian tentang syar’u man qablana, diantaranya ;
·         Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.[1]
·         Syar ‘u man qablana ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.[2]
·         “Segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara yang telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”[3]
·         Syar’u man qablana atau syari’at sebelum kita maksudnya adalah “hokum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita (sebelum Islam) yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat dimasa itu”[4]

Para ulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian.[5]
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.[6]
2.   Kedudukan Syar’u Man Qablana
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura : 13







“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.[7]
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syariat Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.[8]

3.   Pembagian Syar’u Man Qablana
a.   Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syari’at kita (dimansukh)
Jika Alqur’an dan Hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat terdahulu kemudian datang dalil nash  yang membatalkannya, ulama sepakat bahwa hukum itu bukanlah syari’at kita karena sudah ada yang membatalkannya. Misalnya, syari’at keharusan bunuh diri bagi orang yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya pada zaman Nabi Musa.
Dan syarat keharusan memotong kain yang terkena najis sebagai syarat menyucikan pakaian/kain itu sendiri di zaman Nabi Musa. Kedua kasus ini hukumnya telah dibatalkan dengan firman Allah surat Hud : 3.

“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya”
Dan dalam surat Al-Mudatstsir :4


“.......dan pakaianmu bersihkanlah”

b.   Ajaran yang disyari’atkan oleh  kita
Bila Al-Qur’an atau hadis shahih menerangkan suatu hukum yang disyari’atkan kepada umat sebelum Islam, lalu Al-Qur’an dan hadis itu menetapkan bahwa hukum itu wajib pula kepada umat Islam untuk mengerjakannya, tidak diragukan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at yang harus ditaati umat Islam.[9] Misalnya kewajiban berpuasa, kewajiban ini telah diwajibkan kepada umat sebelum Islam. Kemudian setelah datang agama Islam, syari’at semacam itu diwajibkan lagi bagi orang Islam, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah : 183




Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

c.   Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita
a)      Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b)      Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita.[10]

Untuk hal ini ada dua pendapat, yaitu;[11]
·         Pendapat pertama, menyatakan bahwa syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasulullah saw. dan umatnya.
·         Pendapat kedua bila hukum yang diterangkan Allah dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada nash yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana diwajibkan juga bagi mereka, atau tidak ada nash bahwa hukum itu telah dihapuskan.

Dengan perbedaan pendapat di atas, maka ada hal yang disepakati ulama :
·         Hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam.
·         Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut tidak bisa berlaku lagi bagi kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi umat tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa makanan, misalnya daging bagi Bani Israil.
·         Segala yang ditetapkan dengan nash yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi bukan karena ditetapkannya  bagi umat yang telah lalu. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Namun apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukum qishash dan puasa yang ada dalam Alquran.

4.   Sandaran Syari’at Rasulullah Sebelum dan Sesudah Bi’tsah (Diutus Menjadi Rasul)
a.   Keterikatan Rasulullah Sebelum Diutus Menjadi Rasul
Keterikatan Rasulullah sebelum diutus menjadi Rasul terhadap syari’at Islam, terjadi perbedaan pendapat. Para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika Nabi SAW, terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkannya.[12]
Sedangkan setelah ditelusuri tidak ada dalil yang menegaskan bahwa beliau terikat dengan syari’at sebelum Islam. Sedangkan ulama Hanafiyah, Hanabillah, Ibn al-Hajib mengatakan bahwa Rasulullah sebelum diangkat menjadi Rasul terikat dengan syari’at sebelum Islam, karena ada beberapa alasan yang menyatakannya ;
  • Setiap Rasul Allah diseru untuk mengikuti syari’at rasul-rasul sebelumnya.
  • Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi SAW. Sebelum menjadi Rasul telah melakukan perbuatan/amalan tertentu yang sumbernya bukan dari akal semata, seperti pelaksanaan shalat, haji, umrah,mengagungkan ka’bah dan thawaf disekelilingnya serta menyembelih binatang. Hal tersebut berdasarkan firman Allah surat al-An’am:90[13]


“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikitilah petunjuk itu”

b.   Keterikatan Rasulullah Setelah Diangkat  Menjadi Rasul
keterikatan Rasulullah dan umatnya terhadap syari’at sebelum Islam ketika telah diangkat menjadi Rasul. Para ulama berpendapat bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak membatalkannya. Sedangkan syari’at sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. Dan umatnya. Kecuali yang ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Namun untuk hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur’an, tetapi tidak ditegaskan berlakunya untuk umat Muhammad SAW., tetapi diketahui secara pasti bahwa hukum itu berlaku bagi umat sebelum Islam dan tidak ada pembatalan dalam al-Qur’an dan Sunnah, terjadi perbedaan pendapat diantaranya;[14]
1.      Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa jika hukum syari’at sebelum Islam itu disampaikan pada Nabi SAW. Melalui wahyu al-Qur’an bukan melalui kitab agama mereka yang telah diubah, maka umat Islam terikat dengan hukum tersebut. Alasannya syari’at sebelum Islam juga merupakan syari’at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalan syari’at, seperti yang tercantum dalam surat an-Nahl ayat 123


      “Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ikutilah agama Ibrahim yang hanif.”
      Kemudian hadis Rasulullah yang artinya: “siapa yang tertidur dan lupa untuk sholat, maka kerjakanlah sholat itu ketika ia ingat/bangun, kemudian Rasulullah membacakan ayat; “kerjakanlah sholat itu untuk mengingat-Ku” (HR. Bukhari, Muslim Tirmidzi, Nasa’I dan Abu Daud).
2.      Ulama Asy’arriyah, Mu’tazilah dan Syi’ah dan sebagian ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa syari’at sebelum Islam tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. Dan umatnya, alasannya;
·         Pertama ketika Rasul SAW. Mengutus Mu’az bin Jabal untuk menjadi qadi di Yaman, Rasul bertanya; “bagaimana engkau menetapkan hukum, Mu’az menjawab: ”dengan Kitabullah, jika tidak ada dalam kitabullah, dengan sunnah Rasulullah SAW. Dan apabila tidak ada juga, maka saya akan berijtihad. Nabi SAW. Memuji sikap Mu’az tersebut.
·         Kedua, firman Allah dalam surat al- Maidah ayat 48 yang artinya: “untuk tiap-tiap umat diantara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang”
·         Ketiga, syari’at Islam merupakan Syari’at yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan syari’at sebelum Islam hanya berlaku bagi umat tertentu, seperti sabda Rasul SAW. Yang artinya: “para Nabi diutus khusus untuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh umat manusia” (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).

Dalam hal ini Abdul Hamid Hakim mengutip perkataan Imam Al-Syaukani, yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa pendapat :[15]
  • Bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Adam as. karena syariat itu merupakan syariat yang pertama.
  • Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariat Nabi Nuh as.
  • Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariatnya nabi Ibrahim as.
  • Ada pula yang menyatakan Rasulullah beribadah dengan syariat Nabi Musa as.
  • Dan yang menyatakan Rasulullah bersyariat kepada syariat Isa as. karena Nabi yang paling dekat dengan Rasulullah saw.
Bahkan ada yang berpendapat, bahwa Rasulullah saw. sebelum diutus tidak beribadah atas syariat, menurutnya, karena kalaulah berada pada satu agama tentu Nabi menjelaskannya dan tidak menyembunyikannya. Ibnu Qusyairi berkata, bahwa semua perkataan itu berlawanan dan tidak ada dalil yang qath’i.  
Imam Al-Syaukani mengembalikan kepada perkataan yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Ibrahim as. Menurutnya, karena Rasulullah sering mencari dari syariat Ibrahim as., beramal dengan apa yang sampai kepadanya dari syariat Ibrahim, dan juga seperti yang diketahui dari ayat Alquran setelah beliau diutus untuk mengikuti Millah Ibrahim as.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut;
1.      Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.
2.      Dan dapat dipahami juga bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.
3.      Pada prinsipnya, syari’at yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
4.      a.   Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh)
Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
b.   Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
Contoh : Perintah menjalankan puasa.
c.   Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.
a) Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b) Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita.
5.      Sandaran Syari’at Rasulullah Sebelum dan Sesudah Bi’tsah (Diutus Menjadi Rasul)
a. Keterikatan Rasulullah Sebelum Diutus Menjadi Rasul
b. Keterikatan Rasulullah Setelah Diangkat  Menjadi Rasul




[1] Dr. H. Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003) cet 4, hal. 239
[2] http://sriastuti069.wordpress.com/2009/10/17/syar’u-man-qablana/
[3] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
[4] Busriyanti, Ushul Fiqh, (Rejang Lebong – Bengkulu : LP2 STAIN Curup, 2010) cet 1, hal. 112
[5] Dr. H. Sidi Nazar Bakry, op,cit, hal. 239
[6] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, revisi. 3) hal. 112
[7] Ibid.
[8] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
[9] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, op,cit,  hal. 111
[11] http://www.scribd.com,op,cit.
[12] Sidi Nazar Bakry, op, cit, hal, 239
[13] Ibit, hal, 240
[14] Ibid, hal 241
[15] http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih