ILMU KALAM

Ruang Lingkup, Aqidah Tauhid dan Permasalahannya, Serta Tentang Aliran-Aliran dalam Ilmu Kalam
OLEH : Dyen Syafitri
STAIN CURUP


A. Ruang Lingkup Ilmu Kalam
1. Pengertian
            Secara etimologis ilmu kalam berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu Ilmu dan  Kalam. Secara etimologis ilmu adalah pengetahuan, sedangkan kalam berarti kata-kata yang disusun sehingga mempunyai makna atau pengertian. Dalam bahasa Indonesia kalam diartikan dalam kalimat yang mempunyai maksud atau pengertian tertentu. Pengertian Kalam menurut Ash-Shanhaji, yaitu “kata-kata yang disusun dengan sengaja dan mengandung pengertian.”
            Dengan demikian, Ilmu kalam dapat diartikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang yang membicarakan tentang kalamullah (al-Qur’an) itu qadim (terdahulu) atau hadits (baharu).
            Secara terminologis pengertian ilmu kalam menurut pendapat Ibnu Khaldun, “ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan menggunakan dalil-dalil akal dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan ahli sunah.”
2. Sejarah
            Faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya ilmu kalam sebenarnya banyak. Akan tetapi faktor yang mempengaruhi itu dapat di golongkan dengan dua macam, yaitu:
  • Faktor Internal , yakni situasi dan kondisi yang menjadi pengaruh perkembangan ilmu kalam yang datang dari dalam Islam dan kaum Muslimin sendiri. Faktor tersebut adalah : pertama dari Al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah dengan alas an-alasan antara lain:
1.      Golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan waktu saja. Terdapat dalam surat Al-Jastsiyah 45:24.
2.      Golongan syirik yang menyembah bintang-bintang, bulan dan matahari, terdapat dalam surat al-An’am 6:76-78. dan mempertuhankan Nabi Isa dan ibunya dalam surat Al- Ma’idah 5:116. yang menyembah berhala-berhala dalam surat Al-Anbiya 21:17.
3.      golongan yang tidak percaya akan keutusan Nabi-nabi dalam surat Al-Isra’ 17:94
4.      Golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah dari perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak ada campur tangan manusia (yaitu orang-orang munafik) dalam surat Ali-Imran 3:45:15.
Tuhan membantah logika dan argumentasi mereka semua dan juga memerintahkan Nabi Muhammad saw, untuk tetap menjalankan dakwahnya menghadapi alas an merekayang tidak percaya dengan cara yang halus. Sebagaimana firman Allah swt surat An-Nahl ayat 125.
Artinya:  “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (bijak) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Kedua, Pemikiran Para Ulama
Pada mulanya agama ini hanyalah merupakan kepercayaan sederhana dan kuat tidak perlu diperselisihkan dan tidak memerlukan penyelidikan. Pengenutnya menerima bulat-bulat apa yang diajarkan agama, kemudian dianutnya dengan sepenuh hati tanpa ada kecenderungan pada pembahasan dan pemilsafatan. Kemudian datanglah fase diskursus soal agama yang dibahas dengan metodologi ilmiah yang sistematis dalam perspektif filsafat. Disini kaum muslimin mulai memakai filsafat untuk memperkuat hujah dan pebnjelasannya.
Di satu pihak ada ayat-ayat yang menunjukkan adanya paksaan dalam pemberian tugas diluar kemampuan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 6
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir itu sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan ataupun tidak kamu beri peringatan, mereka juga tidak akan beriman.”
            Ketiga, masalah politik kekuasaan
            Disini adanya masalah khilafah. Penyebabnya adalah karena Rasulullah tidak pernah menunjuk golongan mana yang menjadi khalifah sebagai pengganti kedudukannya. Kemudian terjadilah perselisihan pendapat dalam menentukan khalifah tersebut. Perselisihan politik yang menjadi menjadi warna bagi agama tersebut membawa mereka kepada perbedaan dalam memberikan pendapat defenisi tentang iman, kufur, dosa besar dan dosa-dosa kecil. Mereka juga membawa pada perselisihan dibidang “furu’” sehingga tiap-tiap partai menjadi golongan yang berselisih dalam bidang ushul dan furu’ sepanjang zaman.
  • Faktor eksternal, yakni pengaruh yang datang dari luar karena adanya kebudayaan-kebudayaan lain diluar Islam yang telah mempengaruhinya dan dikarenakan telah banyak orang-orang yang menganut agama non-Islam masuk agama Islam.
1.      Dari Pemikiran para Ulama, banyak diantara pemeluk Islam yang semula beragama Yahudi, bahkan ada diantara mereka yang yang sudah pernah menjadi ulamanya, kemudian mulai mengingat-ingat kembali ajaran agamanya yang dulu dan dimasukkannya ke dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, dalam buku-buku aliran dan golongan Islam sering kita dapati pendapat yang jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya.
2.      Pemakaian Metode Filsafat oleh Muktazilah, golongan ini memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan mereka yang memusuhi Islam yang tidak bisa menghadapi lawan-lawannya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan tersebut beserta dalil-dalilnya.
3.      Pengaruh Dari Buku-Buku Filsafat Aristoteles, untuk membantah pendapat sebelumnya maka An-Nazm dan Abu Huzail Al-Allaf (tokoh muktazilah) membaca buku-buku Aristoteles tersebut.
Kaum Muslimin mengenal aneka aliran dan perbedaan pendapat, tetapi perbedaan tersebut tidak mengenai tentang agama Islam. Kaum Muslim tidak berbeda pendapat tentang :
  1. Keesaan Tuhan
  2. Kedudukan Nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul Tuhan
  3. Kedudukan wahyu (Al-Qur’an)yang diturukan Tuhan adalah kebenaran
  4. Rukun-rukun Islam
  5. Hal-hal yang dibawa oleh agama dengan pasti dan jelas.
Perselisihan kaum Muslim pada masa lalu itu selain karena faktor-faktor atau gejala-gejala kemanusiaan pada umumnya seperti yang disebut di atas, juga karena:
  1. Fanatik kesukuan dan kekerabatan.
  2. Perebutan khilafat (kekuasaan)
  3. Kaum Muslimin hidup berdampingan dengan pemeluk-pemeluk agama lain dan masuknya beberapa orang ke dalam Islam.
  4. Penerjemahan buku-buku filsafat
  5. Banyak pembicaraan soal-soal yang pelik dan rumit.
  6. Ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an
  7. Jurisprudensi dalam hukum Islam.

B. Aqidah, Tauhid dan Persoalannya
1. Pengertian Aqidah
            Dalam kamus al-Munawir secara etimologis. “aqidah” berasal dari bahasa Arab “aqidah yang berakar dari kata Aqadah- ya’qidu-‘aqidatan. ‘aqidah artinya keyakinan. Sedangkan secara terminologis ada beberapa versi.
-          Menurut Hasab al-Banna dalam kitab Makmu’ah ar-Rasa’il mengatakan bahwa, aqa’id (bentuk jamak dari aqadah) adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan
-          Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab Aqidah al-Mukmin: “aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyudan fitrah. Kebenaran itu dipastikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti dan menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.”
a. Istilah aqidah dalam Al-Qur’an
·                                 ‘Aqadat, kata ini tercantum dalam surat an-Nisa’ ayat 33
      Artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
·                                 ‘Aqadtum, terdapat dalam ayat al-Maidah ayat 89
      Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,”

·                                 Uqud, termasuk dalam surat al-Maidah ayat 1
            Atrinya: “Hai orang-orang yang beriman penuhilah perjanjian-perjanjian itu.”
·                                 Uqdah, dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 235
      Artinya: " Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
2. Pengertian Tauhid
            Asal makna tauhid ialah meyakinkan (mengi’tikadkan) bahwa Allah adalah satu, tidak ada syarikat baginya. Kalimat tauhid adalah kalimat yang menjelaskan tentang keesaan Allah. Kalimat tauhid berasal dari Arab wahhada. Lafal kalimat taujid adalah la ilaha illa allah. Kalimat ini mengandung makna bahwa hanya Allah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan dimintai pertolongan. Orang yang menyekutukan Allah disebut musyrik sedang perbuatan disebut syirik.
3. Pokok-pokok Aqidah dan Tauhid
            Menurut Hasan al-Banna, pokok-pokok aqidah meliputi:
a.       Ilahiyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah, seperti wujud Allah, nama dan sifat-sifat Allah.
b.      Nubuwat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, kitab-kitab Allah, mukjizat.
c.       Ruhaniyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam matafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, dan setan
d.      Sam’iyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’I yakni dalil naqli’ berupa al-Qur’an dan sunnah, seperti alam barzah, akhirat, azab kubur, kiamat, surga dan neraka.
Tingkatan-tingkatan Tauhid, yaitu:
  1. Tauhid Rububiyah, secara etimologi yaitu menumbuhkan, mengembangkan, sedangkan secara terminology berarti keyakinan bahwa Allah swt. Adalah Tuhan Pencipta semua makhluk dan alam semesta.
  2. Tauhid Mulkiyah, sesuatu keyakinan bahwa Allah swt. Adalah satu-satunya Tuhan yang memiliki dan menguasai makhlik dan alam semesta. Ia berhak dan bebas melakukan apa saja yang kehendaki.
  3. Tauhid Uluhiyah, pengekuan dan keyakinan bahwa Allah swt adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah yang direalisasikan dalam bentuk ibadah.
  4. Tauhid Ubudiyah, suatu keyakinan bahwa Allah swt, merupakan Yuhan yang petut disembah, ditaati, dipuja dan diagungkan.

C. Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam
a. Aliran Khawarij
            Nama khawarij berasal dari kata khoroja yang berarti keluar, namun itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari surat an-Nisa’ yang didalamnya disebutkan; keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya.
            Ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa nama “khawarij” tersebut dari kata khawarij bentuk plural dari kata kharij yang artinya orang yang keluar. Pengertian yang lazim dimaksudkan terhadap istilah ini adalah kaum yang keluar dari pemerintahan khalifah Ali ibnu Abi Thalib. Dari pemberian nama itu dapatlah dilihat sesuatu yang implicit dari maksudnya, yaitu bahwa mereka memisahkan diri  dari khalifah atau pimpinan umat Islam yaitu Ali bin Abi Thalib. Tujuannya untuk mendapat keridhaan Allah. Pemberian nama ini mereka sendiri yang memberikannya.
1. Sejarah Kelahiran Golongan Khawarij
            Perpecahan dalam tubuh umat Islam pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib dilatarbelakangi oleh adanya peristiwa terbunuhnya klifah Usman. Kejadian ini membuat pimpinan-pimpinan Islam saling menuduh dan berebut kekuasaan. Hal ini sebenarnya dipicu oleh gerakan Abdullah ibnu Sabak dari seorang Yahudi munafikyang mengaku golongan sahabat, tetapi maksudnya untuk memecah belah umat Islam. Fitnah dari orang tersebut menyebabkan terbunuhnya Syaidina Usman. Maka Ali pun terpilih menjadi khalifah. Akan tetapi, pilihan itu tanpa suara, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu.
            Salah satuny muawiyah menuduh Ali terlibat konspirasi pembunuhan Usman. Oleh karena itu, muawiyah yang menjabat gubernur Syiria tidak mendukung Ali sebagai khalifah. Maka terjadilah perang saudara. Akhirnya Syiria yang beribu kota Damaskus yang di pimpin muawiyah memberontak pemerintahan Ali. Namun setelah hampir terkalahkan, muawiyah pun minta untuk berdamai. Muawiyah mengajak perselisihan itu melalui jalan lembaga peradilan. Setelah melalui proses persidangan yang pelik maka pihak pengadilan memutuskan bahwa pihak Muawiyah yang menang sehingga Ali harus turun jabatan. Keputusan itu menggemparkan dunia Arab dan sekitarnya.
            Ali menerima keputusan tersebut, sehingga ia memberikan jabatannya ke Muawiyah, sehingga mengakibatkan lahirnya kelompok yang tidak mendukung kedua-duanya yang disebut kelompok Khawarij.
2. Ideologi Golongan Khawarij
            Dalam aspek ketatanegaraan mereka mempunyai paham yang sifatnya baik dan demokratis dan mensyaratkan pemimpin harus baik dalam keIslamannya. Dalam hal ini khalifah atau pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn l-Khatab secara keseluruhan dapat mereka terima. Bahwa kedua khalifah ini diangkat karena keduanya tidak menyeleweng dari ajaran Islam. Tetapi, Usman dan Ali dipandang oleh mereka telah menyeleweng.
            Usman dan Ali telah menjadi kafir  demikian juga dengan Muawiyah. Dalam hal ini kaum Khawarij mulai memasuku wilayah pembahasan kufr, hal ini mengakibatkan perbedaan

sehingga timbul berbagai golongan dalam kalangan Khawarij.
3. Sekte-Sekte dalam Golongan Khawarij
            Ada beberapa sekte yang dianggap popular diantaranya, yaitu;
  1. Al-Muhakkimah, sekte ini adalah golongan Khawarij asli yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka, Ali, Muawiyah dan yang terlibat serta menyetujui arbitase telah menjadi kafir. Hukum kafir ini mereka luaskan artinya hingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar, Misalnya zina. 
  2. Al-Azariqah, setelah golongan pertama hancur, maka golongan ini yang mampu menyusun barisan baru, yang besar dan kuat. Pimpinan sekte ini adalah Nafi’ yang diberi gelar oleh mereka Amir Al-Mukminin. Sekte ini berpendapat hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam. Orang Islam diluar mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Oleh karena itu, kaum al-Azariqah disebut Ibnu al-Hamz, selalu mengadakan idtirad yaitu bertanya-tanya tentang pendapat atau keyakinan orang lain.
  3. An-Najdah, sekte ini dipimpin oleh Najdah. Mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar menjadi kafir dan kekal dalam neraka kecuali orang Islam sepaham dengannya. Sekte ini berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap-tiap Muslim ialah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, haram membunuh umat Islam dan percaya kepada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya.
  4. Al-Ajaridah, sekte ini berpendirian lebih lunak karena tidak mewajibkan kepada golongan mereka untuk berhijrah, akan tetapi itu hanya merupakan kebajikan. Kaum Ajaridah ini mempunyai puritanitsme. Surat Yusuf dalam Al-Qur’an membawa cerita cinta dan Al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka tidak mungkin mengandung kata cinta. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dari Isi Al-Qur’an.
  5. Al-Ibadah, golongan ini adalah golongan yang modern dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari Abnu Ibad yang memisahkan diri dari al-Azariqah. Salah satu ajaran yang moderat yaitu: orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahid, yang mengesakan Tuhan, tetapi bukan Mukmin. Kalaupun kafir hanya merupakan kafir nikmah dan bukan kafir millah (kafir agama).
  6. As-Sufriyah,  pemimpin golongan ini ialah Ziad ibnu al-Asfar. Dilihat dari pahamnya, sekte ini tidak ekstrim. Pahamnya yaitu:
1.      Orang Sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
2.      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrikin boleh dibunuh.
3.      Tidak berpendapat bahwa orang-orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Diantara mereka ada yang membagi dosa besar dalam dua bagian yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina; dan dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa.
4.      Daerah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb (daerah yang harus diperangi); yang harus diperangi ialah askar atau camp pemerintah sedang anak-anak dan perempuan tidak boleh menjadi tawanan.
5.      Kufr dibagi dua; kufr inkar al-ni’mah yaitu mengingkari rahmat Tuhan dan kufr inkar al-rububiyah, yaitu mengingkari Tuhan.
4. Tokoh-Tokoh Aliran Khawarij
·         Abdullah Ibn Wahab ar-Rasyidi, pimpinan ini adalah tokoh yang pertama dalam golongan Khawarij.
·         Nafi’ Ibn Al Azraq, Nafi adalah seorang yang telah menyusun kekuatan kembali walaupun akhirnya da dalam penyerangannya ia tewas.
·         Najdah Ibn Amr al-Hanafi, pimpinan dari sekte al-Nahjat
·         Abdullah al-Karim Ibn Ajrad, ia adalah pimpinan pewaris dari puncang pimpinan sebelumnya yaitu Najdah
·         Ziad Ibnu Asfar, pimpinan sekte Sufriah.
·         Abdullah Ibnu Ibad, pimpinan sekte al-Ibadah
·         Jabir Ibn Azdi, dll.

b. Aliran Syi’ah
            Ajaran Syi’ah berawal dari sebutan untuk para pengikut Ali, pemimpin pertama Ahlul Bait. Aliran Syi’ah berdiri secara formal bermula dari masa pemerintahan khalifah Ali yang baru berlangsung beberapa waktu saja. Karena pada waktu itu muncul permasalahan atau hura-hura antara Ali dengan Muawiyah. Dari keterangan tersebut jelas bahwa Syi’ah adalah suatu golongan yang mengagung-agungkan dan mengikutsertakan Ali dan keturunannya sebagai ahli waris dari Nabi Muhammad.
1. Pham-paham golongan Syi’ah, yaitu;
  • Mereka berpandangan bahwa hak untuk menjabat Khalifah atau dalam istilah mereka yang masyur; hak untuk menjadi imam yaitu pemimpin masyarakat Islam, baik dalam masalah urusan keagamaan ataupun urusan kenegaraan (politik). Adalah harus dari keluarga Nabi (yaitu Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya yang disebut ahlul bait).
  • Imam atau khalifah itu hanya sah apabila mendapat nash atau diangkat oleh Nabi sendiri dan kemudian oleh imam-imam sesudah beliau secara berurutan.
  • Tiap-tiap imam yang diangkat oleh imam sebelumnya adalah maksum, yaitu terpelihara dari dosa serta menerima anugrah keistimewaan yang berwujud ilmu-ilmu gaib, ladunia, mujiza dan kesaktian.
2. Golongan-golongan Syi’ah dan para imam.
            Dalam golongan Syi’ah belum mengalami pepecahan faham selama masa kepemimpinan ketiga imam yaitu Ali, Hasan, dan Husaen. Akan tetapi, Husein wafat dalam peperangan, mayoritas Syi’ah menerima keimanan Ali bin Husein As-Sajjad sebagai imam yang ke empat.
            Sampai imam yang ke delapan hingga sampai imam keduabelas yang diyakini oleh mayoritas orang-orang syiah sebagai mahdi yang dijanjikan tak ada perpecahan penting yang terjadi didalam aliran syiah.lebih lanjut terdapat pula perbedaan dalam masalah teologi dan hukum yang tidak bisa di anggap sebagai golongan-golongan dalam mazhab keagamaan.
a. Sekte Az-Zaidiyah
            Dinamakan Zaidiyah karena tokohnya bernama Zaid bin Zainul Abi bin Al-Husain bin Ali. Golongan ini adalah golongan yang paling murni dari yang lainnya. Menurut kepercayaan Zaidiyah, seorang keturunan Fatimah, putri Rasulullah yang melancarkan pemberontakan demi membela kebenaran dapat menjadi imam apabila ia mempunyai pengetahuan keagamaan, berakhlak bersih, berani dan murah hati.
b. Sekte Al-Ismailiyah
            Imam ja’far  memiliki putra bernama Ismail, ia meninggal ketika ayahnya masih hidup. Pada saat kematiannya, ayahnya mengundang beberapa saksi termasuk Gubernur Madinah. Penganut mazhab ini menghimpun pelajaran-pelajaran dalam sembilan tingkat, dimulai dari gerakan-gerakan yang meragukan menurut pokok pelajaran Islam.

c. Aliran Qadariah
1. Asal-usul kemunculan Qadariyah
Qadariyah secara etimologi  berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata qadara, yang artinya kemampuan atau kekuatan. Adapun secara terminologi  Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinversi oleh  Allah . Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang pencipta bagi segala perbuatannya , ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan kekuatan manusia dalam mewujudkwn perbuatan-perbuatannya.
Harun Nasution, menegaskan bahwa aliran ini berasal dari penelitian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dalam pengertian manusia bukan tunduk pada qadar Tuhan. Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariyansyah, orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatannya, mencakup semua perbuatan yakni baik dan buruk.
Ditinjau dari segi politik kehadiran aliran qadariyah sebagai isyarat menentang politik bani Umayyah, karena itu kehadiran qadariyah dalam wilayah kekuasaannya selalu mendapat tekanan, dan pada Zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi tertampung dalam Mu’taazilah.
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya kreasi ini, yaitu antara lain :
1.      Pendapat Harun Nasution, Karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham Fatalis. Kehidupan bangsa Arab pada saat itu serba sederhana dan jauh dari pengatahuan. Mereka merasa lebih dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulknya oleh alam sekelilingnya.
2.      Tantangan dari Pemerintah, Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat.

2. Doktrin-doktrin Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghilan tentang doktrin Qodariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah yang lain An-Nizzam, mengemukakan bahwa manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dan dari penjelasan diatas, dapat difahami bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu ia berhak mendapat pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak diakhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat bagi perbuatan buruk. Berdasarkan pilihyan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan.
Secara alamiah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimendi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan untuk tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang dilautn lepas.
Demikian juga, manusia tidak mempunyai kekuataan seperti Gajah yang mampu memabawa barang berates kilogram, dan lain-lain. Akan tetapi, manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. Demikian juga anggota tubuh lainnya dapat berlatih  sehingga dapat tampil menghasilkan sesuatu.  Dengan daya daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh dapat dilatih dengan terampil, manusia dapat meniru apa yang dimiliki ikan sehingga dia juga dapat berenang di laut lepas.
Dengan pemahaman seperti ini kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. doktrin-doktrin ini mempunyai pijakan dalam doktrin islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya surat Ali Imran {3}:165.
Artinya; “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri." Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

d. Aliran Jabariyah
1. Asal-Usul Aliran Jabariyah
            Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Paham Al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan.
            Sebenarnya benih-benih Faham al-Jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh tersebut. Benih-benih ini terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini;
  1. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sekarang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan
  2. Khalifah Umar bin Khatab pernah menangkap seseorang  yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi pencuri itu berkata , “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang tersebut telah berdusta kepada Tuhan.
  3. Khalifah Ali bin Abi Thalib seusia Perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Sebagai balasan amal perbuatan manusia.
  4. Pada pemerintahan Daulat Bani Umaiyah, pandangan tentang al-Jabar semakin mencuat ke permukaan.
2. Para Pramuka Jabariyah dan Doktrin-doktrinnya.
            Di antara pemuka Jabariyah ekstrim adalah;
  1. Jahm bin Shofwan, pendapatnya berkaitan dengan persoalan teologi adalah;
-          Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa
-          Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
-          Iman adalah m’rifat atau membenarkan dalam hati
-          Kalam Tuhan adalah makhluk Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia
  1. Ja’d bin Dirham, adalah seorang Maulana bani Hakim, tinggal di Damaskus. Doktrin pokoknya;
-          Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu ia baru.
-          Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhliknya
-          Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah sebagai berikut;
·         An Najjar
·         Adh-Dhirar
e. Aliran Mu’tazilah
1. Munculnya golongan atau golongan Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik.
 Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.

2. Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.”
Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya

menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.

3. Ajaran yang diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah :
“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7)
Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam". Aliran mu'tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam.