USHUL FIQH


 
RESUMEN USHUL FIQH
OLEH : Dyen Syafitri
STAIN CURUP

A.    Konsep Dasar Fiqh dan Ushul Fiqh
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.  Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh. Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh. Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :

Artinya:
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :

Artinya: "Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".
Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh. Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :
Artinya:
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni: Artinya: "Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci".
Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.
Artinya:".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)
Atau seperti sabda Rasulullah SAW :
Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.
Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :
Artinya:
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :

 Artinya :"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan 
Artinya:"Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."
B.     Hukum Syar’I (Hukum Taklifi dan Wadh’i)
Definisi Hukum Syara
HUKUM (al-hukm) secara bahasa (etimologi) berarti mencegah, memutuskan.
Menurut terminologi ushul fiqh, hukum syar’i adalah khitab (kalam) Allah Swt yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, baik berupa iqtidha` (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/māni’).
v  Penjelasan Definisi al-Hukm
  • Yang dimaksud Khithabullah adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, baik Quran, Sunnah, maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya Quran dan Sunnah, adapun ijma’ dan qiyas sebagai metode menyingkapkan hukum dari Quran dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena Rasulullah Saw tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman Allah:
      وما ينطق عن الهوى ان هو الا وحي يوحى (النجم : 2 - 3
Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah.
  • Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa, berakal sehat, termasuk perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan (seperti ghibah).
v  Hukum Taklifi dan Wadh’i
·         HUKUM TAKLIFI adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat.
ما اقتضى طلب فعل من المكلف او كفه عن فعل او تخييره بين الفعل والكف عنه
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat 5 waktu wajib, khamar haram, riba haram, makan-minum mubah.
وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة ... /// وكلوا واشربو ...
·         HUKUM WADH’I adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
ما اقتضى وضع شيء سببا لشيئ او شرطا له او مانعا منه
Misalnya, hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat zuhur. Wudhu’ menjadi syarat sahnya shalat. Atau, kedatangan haid menjadi penghalang/māni’ seorang wanita melakukan kewajiban shalat dan puasa.
v  Bentuk-bentuk Hukum Taklifi
  • WAJIB. Secara etimologi berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, sesuatu yang diperintahkan Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh mukallaf, jika dilaksanakan mendapat pahala, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
  • MANDUB. secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah, suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub atau nadb disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadhilah.
  • HARAM. Secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara istilah, sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, dimana orang yang melanggarnya diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannyakarena menaati Allah akan diberi pahala. Misal: larangan zina
  • MAKRUH. Secara bahasa berarti sesuatu yang dibenci. Secara istilah, sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan pahala, dan jika dilanggar tidak berdosa. Misal, dalam mazhab Hanbali makruh berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung (المضمضة والإستنشاق) secara berlebihan ketika wudhu di siang hari Ramadhan.
  • MUBAH. Secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Secara istilah, sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak, dan tidak ada hubungannya dengan dosa serta pahala. Misal: jika terjadi puncak cekcok suami-istri, maka boleh (mubah) bagi istri membayar sejumlah uang kepada suami dan meminta suami menceraikannya (QS. Al-Baqarah: 229).
v  Pembagian WAJIB
1. Wajib Dari segi Orang Yang dibebani kewajiban
  • WAJIB ‘AINI (Fardhu ‘Ain) , Kewajiban yg dibebankan kepada setiap mukallaf (sudah baligh dan berakal), tanpa terkecuali. Misal: shalat wajib.
  • WAJIB KIFĀ`I (Fardhu Kifayah) , Kewajiban yg dibebankan kepada seluruh mukallaf, namun jika telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam, maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi. (Shalat jenazah)
2. Wajib Dari segi Kandungan Perintah
·         WAJIB MU’AYYAN, Kewajiban dimana yg menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan. Misal: kewajiban puasa di bulan Ramadhan.
  • WAJIB MUKHAYYAR, Kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. (kaffarat sumpah)
فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم او كسوتهم اوتحرير رقبة فمن لم يجد فصيام ثلاثة ايام
3. Wajib Dari segi Waktu Pelaksanaannya
  • WAJIB MUTHLAQ, Kewajiban yg pelaksanaannya tidak dibatasi dg waktu tertentu. Misal: kewajiban membayar puasa Ramadhan yg tertinggal.
  • WAJIB MUAQQAT, Kewajiban yg pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu.
    MUWASSA’. Waktu yg tersedia lebih lapang daripada waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri. Misal: Shalat 5 waktu. MUDHAYYAQ. Waktu yg tersedia hanya mencukupi untuk melaksanakan kewajiban itu. Misal: Puasa bulan Ramadhan, haji.
v  Pembagian MANDUB / NADB / SUNNAH
  • MUAKKADAH, Sunnah sangat dianjurkan, dibiasakan oleh Rasul Saw dan jarang ditinggalkannya. Misal: Shalat sunnah 2 rakaat sebelum fajar.
  • GHAIR MUAKKADAH, Sunnah biasa, sesuatu yg dilakukan Rasul, namun bukan menjadi kebiasaannya. (Shalat sunnah 2x dua rakaat sebelum shalat zuhur).
  • ZAWĀID, Sunnah mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah Saw sebagai manusia. Misal: cara makan rasul, tidur, dll.
v  Pembagian HARAM
  • AL-MUHARRAM LI DZATIHI, Diharamkan krn esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia. Misal: Larangan zina, makan bangkai, darah, babi.
  • AL-MUHARRAM LI GHAIRIHI, Dilarang bukan krn esensinya, tapi pada kondisi tertentu dilarang krn ada pertimbangan eksternal. Misal: larangan jual beli saat azan jumat.
v  Pembagian MAKRUH
  • MAKRUH TAHRIM, Dilarang oleh syari’at, tapi dalilnya bersifat dhanni al-wurud (dugaan keras, seperti hadis ahad yg diriwayatkan perorangan). Misal: Larangan meminang wanita yg sedang dalam pinangan orang lain.
  • MAKRUH TANZIH, Dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misal: memakan daging kuda pada waktu sangat butuh di waktu perang, menurut sebagian Hanafiah.
v  Pembagian MUBAH
Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitab Muwafaqat membagi mubah menjadi 3 macam:
  1. Mubah yg berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yg wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah sesuatu yg mubah, namun berfungsi untuk menggerakkan seseorang mengerjakan kewajiban shalat dsb.
  2. Sesuatu dianggap mubah hukumnya jika dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya jika dilakukan setiap waktu. Misal: bermain dan mendengar musik, jika menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan bermusik maka menjadi haram.
  3. Sesuatu yg mubah yg berfungsi sebagai sarana mencapai sesuatu yg mubah pula. Misal: membeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan.